NUSANTARA, (TransMadura.com) – Belakangan, aksi mahasiswa menolak RUU KUHP terus berlanjut. Meski Presiden Joko Widodo telah menunda pengesahannya. Berikut beberapa pasal yang dianggap kontroversi tetapi sebenarnya telah ada di UU PKDRT.
Salah satu hal baru dalam RUU KUHP adalah meluaskan definisi perkosaan. Dalam RUU KUHP itu, perkosaan bisa terjadi asal ada kekerasan pria ke wanita, tanpa harus masuk alat kelamin.
“Setiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun,” demikian bunyi Pasal 480 ayat 1.
Maka dengan definisi di atas, bisa saja seorang suami memperkosa istrinya. Dengan syarat yaitu si istri sedang tidak mau berhubungan badan dan si suami melakukan kekerasan.
Apakah rumusan di atas hal yang baru?
Ternyata tidak. Definisi serupa juga tertuang saat ini dalam UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Hal itu sesuai dengan asas KUHP yaitu melakukan kodifikasi hukum.
Namun dalam UU PKDRT, tidak menggunakan istilah pemerkosaan, tetapi kekerasan seksual. Pasal 8 huruf a UU PKDRT berbunyi:
Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Adapun Pasal 46 UU PKDRT berbunyi:
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp 36 juta.
Dalam catatan redaksi, sedikitnya sudah ada 2 kasus yang dikenakan pasal tersebut. Kasus pertama terjadi di Denpasar pada 2015. Yaitu Tohari memperkosa istrinya yang sedang sakit-sakitan. Beberapa pekan setelah itu, Siti meninggal dunia. Atas hal itu, PN Denpasar menjatuhkan hukuman 5 bulan penjara kepada Tohari.
Kasus kedua yaitu Hari Ade Purwanto memaksa istrinya berhubungan badan di sebuah hutan di Pasuruan, Jawa Timur pada 2011. Hari beralasan sudah kewajiban istri melayani suami, sesuai agama yang ia yakini.
Namun pembelaan diri Hari ditolak dan akhirnya dihukum 16 bulan penjara. Putusan itu bergeming hingga tingkat kasasi dengan ketua majelis hakim Prof Komariah E Sapardjaja serta hakim anggota Suhadi dan Salman Luthan. (*)
Sumber : Detik.com