Sampang (Transmadura.com) –
Bencana kekeringan mengancam tiap musim kemarau datang. Warga miskin yang tinggal di desa-desa kering kritis menjadi korban. Mereka kesulitan mendapatkan air bersih untuk memasak, mandi, dan mencuci.
Kemarau di wilayah Sampang dan sekitarnya belum genap empat bulan. Namun 42 desa di 12 kecamatan sudah mengalami kekeringan kritis. Mirisnya, badan penanggulangan bencana daerah (BPBD) setempat belum tergerak memberikan bantuan air bersih kepada warga yang dilanda kekeringan.
Sampang terdiri atas 14 kecamatan. Hanya dua kecamatan yang pada musim kemarau tahun ini tidak dilanda kekeringan. Yakni Kecamatan Omben dan Kecamatan Camplong.
Menurut yang di langsir Radarmadura, Kepala Pelaksana BPBD Sampang Anang Djoenaedi menyebutkan, dari 12 kecamatan yang mengalami kekeringan, empat paling parah. Yaitu Kecamatan Banyuates, Kedungdung, Karang Penang, dan Pangarengan. ”Yang masuk kategori kering kritis 42 desa di 12 kecamatan,” ucapnya Minggu (10/9).
Mantan Kabag Tata Pemerintahan Pemkab Sampang itu melanjutkan, kekeringan melanda sejak pertengahan Agustus. Informasi yang didapat dari BMKG (badan meteorologi, klimatologi, dan geofisika) puncak kemarau berlangsung mulai 1–30 September.
”Solusi jangka pendek dari BPBD hanya memantau. Kami sudah mengajukan anggaran kepada bupati. Insya Allah Rabu (13/9) akan melakukan dropping air ke desa-desa yang mengalami kekurangan air bersih,” janjinya.
BPBD, kata dia, memiliki empat truk tangki air. Rencananya, BPBD akan bekerja sama dengan PDAM yang memiliki dua truk tangki air. Dengan demikian, nantinya akan ada enam truk tangki yang digerakkan mengirim air bersih ke desa. ”Rencana kami, per desa dapat sepuluh tangki air,” ujarnya.
Anang menjelaskan, pendistribusian air tidak setiap hari. Bantuan air dilakukan bertahap sampai akhir September. ”Kami akan bekerja sama dengan kepala desa,” pungkasnya.
Solusi jangka panjang, imbuh Anang, pemkab akan membuat tandon, sumur bor, dan embung di desa-desa yang setiap musim kemarau mengalami kekeringan. ”Itu sudah dibicarakan bersama SKPD terkait,” tegasnya. ”Yaitu PDAM dan DPRKP. Kami hanya men-support karena teknisnya di PDAM dan DPRKP,” tukasnya.
Sementara itu, Nur Hasanah, 46, warga Desa Torjunan, Kecamatan Robatal, Sampang menuturkan, kekurangan air dirasakan sebelum Idul Adha. Untuk mendapatkan air bersih, dia membeli Rp 300 ribu per tangki. Satu tangki berisi 5.000 liter air dan bisa dipakai seminggu.
”Air dipakai untuk masak, mencuci, dan mandi. Kalau banyak anggota keluarga, tidak sampai seminggu air satu tangki habis,” keluhnya.
Jika tidak membeli air bersih, Nur Hasanah harus bangun pukul empat pagi. Dia mengambil air di sumur warga di Desa Jelgung. ”Kalau terpaksa karena tidak punya uang, kami mandi dan mencuci memanfaatkan air sungai yang sudah berubah warna dan bau. Air di sungai sudah tidak mengalir,” bebernya. (Red)