SUMENEP, (TransMadura.com) – Kedok Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) Sapeken, Sumenep, Madura, Jawa Timur, mulai samar samar terbongkar. Pasalnya, dari dugaan tim Verval Pemutakhiran Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) disinyalir yang tak prosedural, bahkan disinyalir ilegal, Kini muncul rekrutmen Agen e-Warung dari keluarganya sendiri.
“Setidaknya ada empat Agen e-Warung di Kecamatan Sapeken yang diduga dikelola oleh keluarga dari HS (inisial),” kata sumber Warga Kecamatan setempat yang terpercaya.
Menurutnya, HS itu merupakan istri dari TKSK Kecamatan Sapeken, Sehingga, keempat agen e-warung Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan Program Keluarga Harapan (PKH) ada indikasi kongkalikong.
“Keempat agen e-Warung itu adalah saudara HS, yang notabeni adalah istri dari TKSKnya,” ungkapnya.
Keempat e-warung itu kabarnya tersebar di di tiga desa, yakni Desa Sapeken, Desa Sakala, dan Desa Pagerungan Besar. “Agen e-Warung di Sakala ada dua, dikelola oleh Kepala Pustu Sakala dan keponakan HS, istrinya TKSK,” jelasnya.
Selain itu, pihaknya menjelaskan,
di Desa Pagerungan Besar dan Desa Sapeken, kedua orang pengelola tersebut, merupakan sepupu dari HS istrinya TKSK Sapeken. “Itu semua kerabat dan saudara istrinya TKSKnya,” tuturnya.
TKSK Kecamatan Sapeken, Rahman sampai saat ini tetap tidak merespon setelah berkali kali dihubungi telepon selulernya walau kedengaran aktif. Hingga melalui chatting WhatsApp nya.
Pendataan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) di Kecamatan Sapeken dilakukan secara ilegal. Pasalnya, sesuai regulasi tim Verval (Verifikasi dan Validasi) DTKS itu harusnya ada surat tugas dari kecamatan setempat.
Namun sampai saat pihak kecamatan tidak pernah mengeluarkan surat pengantar tim Verval DTKS, TKSK tidak pernah ada koordinasi ke Camat dan pihak Desa. Bahkan anehnya, saat ini tim Verval DTKS sedang berjalan.
“Selama saya menjabat tidak pernah ada pengajuan surat tugas baik dari pemdes maupun dari TKSK,” kata H. Moh. Jailani, S.Pd., M.Pd. mantan camat Sapeken, kepada media ini.
Bahkan dirinya mengaku, pernah mengundang pihak desa, namun desa menjawab tidak tau dimana semua agen siapa yang menunjuk.
“Mungkin itu camat sebelum dirinya, tapi tidak ada, dan kami menunggu regulasi yang harus dilakukan, dan desa harus mengajukan ke kecamatan, ini kayaknya desa tidak tau,” ngakunya.
Pihaknya, memaparkan kapan pembentukan itu dilakukan, dirinya mengaku tidak tau. “Kami tidak tau kapan pembentukannya, dan mungkin yang sebelumnya,” ungkapnya.
Ditanya, apakah pendataan ini ilegal karena tidak sesuai regulasi, Jailani menjawab bisa saja seperti itu. “Wallahu a’lam, bisa saja begitu, karena sebelumnya salah satu desa curhat ini gimana, Data pemutakhiran lewat mana?, Ya saya bilang langsung saja ke Dinsos,” tutupnya.
(Asm/Fero/red)