banner 728x90

Kades Effect di Pemilu 2019 : Pertaruhan Integritas Penyelenggara dan Panwaslu


(Studi Kasus Pemilihan DPRD Kabupaten Sumenep)

Artikel Oleh : Moh Thoha. SUMENEP, (TransMadura.com) –
Pemilihan umum adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) , Presiden dan Wakil Presiden, DPR Provinsi, DPR RI untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1995 (UU no 7 tahun 2017).

banner 728x90

Hingga tahun 2014 lalu, negara kita telah berhasil melaksanakan 10 kali pemilihan umum, yakni dari tahun 1955, 1961, 1967, 1982, 1987, 1992, 1999, 2004, 2009 dan 2014. Pemilu adalah cara, bukan tujuan yang diadakan untuk memberi kesempatan kepada orang banyak memutuskan siapa saja yang layak memegang mandat mereka menjadi pejabat publik untuk menjadi anggota DPR, DPRD, dan DPD, serta Presiden-Wakil Presiden.

Dewasa ini dapat dikatakan bahwa pemilihan umum legislatif telah dianggap sebagai kegiatan yang paling bergengsi, sakral dan bahkan mahal. Sejak lahirnya reformasi pada tahun 1998, di tiap-tiap daerah Kabupaten/Kota di Indonesia telah melaksanakan setidak-tidaknya 2 (dua) kali pemilihan umum legislatif.

Keterlibatan masyarakat dalam pemilihan umum legislatif sangat bervariasi di tiap daerah. Apabila di Indonesia terdapat kurang lebih 416-an Kabupaten dan Kota, maka jika di ambil rata-rata tingkat partisipasi penduduk dalam pemilu legislatif sebesar 500.000 pemilih, maka partisipasi masyarakat dalam pesta demokrasi ini mencapai 200.000.000 orang pemilih.

Demikian pula, halnya terkait dengan pembiayaan penyelenggaraan melalui APBD yang harus disediakan dalam pemilihan umum kepala daerah. Angka perputaran uang dalam pesta demokrasi ini akan semakin besar jika dihitung total biaya Pemilu Legislatif (DPR/DPD/DPRD), Pemilu Presiden/Gubernur di seluruh wilayah Indonesia.

Hal ini belum diperhitungkan dengan besarnya biaya kampanye para calon serta resiko lain akibat dampak pemilihan umum legislatif, misalnya perusakan harta benda para pendukung, dan kasus terkait dengan pemilihan legislatif seperti yang terjadi di Kabupaten Sumenep tahun 2014 lalu.

Apapun resiko yang harus terjadi sebagai dampak pemilihan umum kepala daerah, di negara dengan faham demokrasi, pemilihan umum merupakan tolak ukur pelaksanaan demokrasi. Hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dan kebebasan dipandang sebagai cara paling baik bentuk partisipasi politik dan menampung aspirasi politik masyarakat.

Pemilihan umum yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia serta jujur dan adil sebenarnya merupakan implementasi dari pelaksanaan kedaulatan rakyat, dimana rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Keberhasilan pelaksanaan pemilihan umum legislatif bila dilihat dari indikator kuantitatif belum mencerminkan kualitas pelaksanaan pemilihan yang sebenarnya.

Pelaksanaan pemilihan umum legislatif menyimpan akar perselisihan mendasar baik di tingkat kebijakan maupun pada ranah kelembagaan. Berbagai permasalahan di dalam pemilihan umum legislatif dapat ditemui mulai dari tahap persiapan hingga tahap pelaksanaan.

Sehingga, pada tahap persiapan terdapat berbagai masalah diantaranya, adalah masalah pada internal partai politik dalam rangka pencalonan, masalah pada KPUD sebagai penyelenggara pemilihan umum legislatif, masalah pada pemerintah pusat, serta masalah pada aturan main pemilihan legislatif.

Sedangkan pada tahap pelaksanaan, permasalahan terjadi pada berbagai titik, diantaranya masalah pendaftaran pemilih, masalah pendaftaran dan penetapan calon, masalah kampanye, masalah pemungutan suara, masalah penghitungan suara, masalah penetapan pengesahan dan pelantikan calon, serta masalah sengketa hasil pemilihan umum legislatif.

PEMILU SERENTAK TAHUN 2019

Sistem pemilihan legislatif di Indonesia seharusnya kembali kepada semangat konstitusi yang telah menetapkan partai politik sebagai peserta pemilu. Pemilu proporsional terbuka berbasis calon legislator (caleg) harus dikembalikan menjadi berbasis partai politik yang merupakan peserta pemilu.

Namun perubahan ini dapat mengatasi kelemahan sistem pemilu kita saat ini seperti maraknya politik uang, ‘perang-saudara’ antar caleg, kecurangan-kecurangan yang dilakukan baik oleh peserta maupun penyelenggara. Sistem proporsional berbasis partai politik ini juga berkesesuaian dengan pola pemerintahan presidensial.

Dengan sistem proporsional berbasis partai politik, maka partai politik yang melakukan kampanye dan pemilih hanya memilih partai politik, bukan memilih calon anggota legislatif (caleg) secara langsung. Para caleg mendukung partai politiknya berkampanye, dengan mengangkat isu-isu yang jelas dan terarah. Seharusnya Mereka tidak perlu melakukan kampanye sendiri-sendiri dengan mengangkat isu-isu pribadi yang justru membingungkan. Lebih dari itu, pemilih dapat dimudahkan dalam menentukan pilihan.

Baca Juga :   Inovasi Kades Rombiya Timur, Bangun Wisata Sombher Raje Terwujud Sumbang PADes Puluhan Juta

Oleh karenanya, syarat mutlak kembalinya pemilihan umum legislatif (pileg) kepada sistem proporsional berbasis partai politik harus diikuti dengan perbaikan sistem rekruitmen bakal calon legislator (caleg) dan bakal calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres) oleh partai politik.

Partai politik harus memberi jaminan kepada masyarakat bahwa caleg-caleg mereka adalah caleg yang memiliki kapabilitas, kapasitas dan figur wakil rakyat yang baik dan amanah, bukan caleg dari hasil praktik oligarki. Hal itu dapat dilakukan dengan perintah UU. Setiap partai politik peserta Pemilu wajib menyelenggarakan pemilu internal untuk memilih bakal caleg dan bakal capres yang akan dikirim untuk mengikuti Pemilu 2019.

Undang-Undang harus mengatur aturan yang rinci dan tegas terkait hal ini dengan memberikan sanksi diskualifikasi bagi partai politik yang tak mentaatinya.
Implikasi yang diharapkan dari adanya pemilu serentak adalah efisiensi pelaksanaan pemilu disertai efektivitas yang mengikutinya, yang dapat menekan pengeluaran dana negara dalam pemilu.

Dengan pemilu serentak, maka partai politik dituntut untuk menyederhanakan sistem parpol dengan multi partai sederhana, sehingga tingkat relevansinya antara sistem pemilu dan sistem parpol dapat berjalan beriringan dengan penguatan terhadap sistem presidensial, yang berdampak kepada konsepsi kebijakan-kebijakan pemerintah yang didukung secara penuh dan solid dalam parlemen terhadap penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.

Selain itu, hasil pemilu dengan sistem serentak dapat dilihat secara relevan antara anggota legislatif terpilih dengan presiden terpilih terhadap penguatan sistem presidensial. Presiden sebagai kepala negara dapat melakukan fungsinya terhadap sistem presidensial secara sistematis korelatif dengan integrasi yang signifikan dalam kerjasama dengan DPR. DPR menjadi penguat dalam sistem presidensial terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.

Presiden dapat melaksanakan wewenang presidensialnya dengan dukungan yang sangat kuat di parlemen sebagai penyangga pemerintahan melalui tugas pokok dan fungsinya sebagai legislator. Oleh karenanya, sistem pemilu serentak harus didukung oleh sistem multipartai sederhana sebagai komponen penting dalam pemilu.

Dalam mewujudkan pemilu serentak 2019 berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 tentang pelaksanaan pemilu serentak, muncul penafsiran bahwa Pemilu 2019 akan diselenggarakan dengan 5 kotak. Secara sederhana putusan itu banyak dimengerti sebagai sekedar perbedaan dalam penyelenggaraannya dimana Pemilu 2019 akan diselenggarakan secara bersamaan untuk memilih DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden. Namun demikian, apapun yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi terkait dengan Pemilu Serentak itu, sebaiknya direspons secara akademik dan dilihat pengaturan teknis implementatif yang harus ada beserta pernik-perniknya.

Dengan kata lain perlu disiapkan tata kelola penyelenggaraannya dalam pemilu serentak tersebut.
Ketika Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk penyelenggaraan Pemilu Serentak, Putusan Mahkamah Konstitusi (2013) masih belum berupa putusan operasional yang menjawab kekhawatiran atas berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan pemilu selama ini. Berbagai alasan seperti: agar masyarakat pemilih tidak jenuh, meminimalisir politik uang, meminimalisir politisasi birokrasi dan untuk efisiensi dalam penyelenggaraannya mungkin bisa terjawab oleh Pemilu Serentak. Terlepas dari itu, penyelenggaraan Pemilu Serentak tahun 2019 sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi (2013), masih belum mengatur peraturan operasionalisasinya yang bisa memperkuat sistem presidensial, karena Pemilu Serentak dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (2013) adalah pemilu yang lebih tepatnya penyelenggaraannya diserentakkan, 5 kotak.

Jadi secara operasional teknis pemilu serentak ini masih menyisahkan banyak problematika dan sangat berpotensi meningkatkan angka kecurangan pemilih hingga tingkat bawah karena adanya kebingungan pada pemilih dan kerumitan pada penyelenggara.

PENGARUH KEPALA DESA DALAM PEMILU 2019

Berdasarkan hasil pengamatan KPU dan BAAWASLU kabupaten Sumenep tahun 2014 diketahui bahwa salah satu masalah yang dihadapi dalam kegiatan pemilihan umum legislatif adalah politik uang (money politics) dimana politik biaya tinggi telah menjadi keluhan sebagian peserta pemilu dan salah satu penyebabnya adalah fenomena politik uang dimana peserta pemilu mengeluarkan sejumlah uang untuk mendapatkan dukungan pemilih atau pemilih aktif meminta imbalan dari dukungan yang diberikannya. Disisi lain dari kegiatan money politics yakni peserta pemilu yang memiliki kelebihan dana cenderung memanfaatkan moment ini untuk mendapatkan simpati dan dukungan dari masyarakat pemilih.
Adapun problem-problem yang terjadi dimasyarakat salah satunya terkait keterlibatan Kepala Desa yang sering kali menjadi instumen money politics.

Baca Juga :   Paripurna DPRD Sumenep Nota Penjelasan Bupati Pelaksanaan APBD 2024

Hal ini berbanding lurus dengan data dilapangan yang terjadi pada pelaksanaan pemilu 2019 yang baru saja dilaksanakan khususnya di Kabupaten Sumenep. Yang mana mantan Kepala Desa, Suami Kepala Desa, Anak Kepala Desa dan Kerabat Kepala desa menang mutlak diatas 80% di desa Kepala Desa terkait, sehingga anda indikasi hegemoni bahkan intimidasi ataupun lebih dari itu adalah terjadinya kecurangan terstruktur di sistem penyelenggara desa. Padahal Sebagaimana Undang-undang No 7 tahun 2017 pasal 280 kepala desa dilarang terlibat kampanye dan melakukan tindakan menguntungkan atau merugikan salah satu calon.

Bahkan pada pasal 490 menuliskan ancaman pidana bagi kepala desa yang melanggar. Namun pada penyelenggara pemilu tingkat desa PPS sampai KPPS hampir semua memiliki hubungan dekat bahkan dapat dikatakan antek-antek kepala desa begitu juga dengan pengawas pemilu tingkatan desa hingga TPS. Maka dari itu kepala desa sangat leluasa untuk melakukan apapun pada pelaksanaan pemilu 2019. Sebenarnya disinilah netralitas penyelenggara dan integritas pengawas pemilu dipertaruhkan.

INTEGRITAS PENYELENGGARA DAN PENGASWAS PEMILU TINGKAT DESA

Penyelenggara pemilu yang notabene semuanya adalah masyarakat desa setempat tentunya tidak bisa dielakkan dari intimidasi kepala desa. Bahkan hampir semua penyelenggara pemilu dari tingkatan PPS, PD, KPPS dan PTPS merupakan orang-orang dekat kepala desa yang sengaja dikonsolidir dari awal oleh kepala desa untuk menjadi penyelenggara dan pengawas pemilu. Sekalipun independen bukan atas perintah kepala desa namun tidak akan mampu terlepas dari hegemoni ataupun intimidasi kepala desa.

UU nomor 7 tahun 2017 telah mengatisipasi keterlibatan kepala desa dalam kampanye bahkan meminimalisir ruang kepala desa untuk menghegemoni penyelenggara dan pengawasan ditingkatan desa. Tidak seperti peraturan lama yakni pada PKPU nomor 3 tahun 2015 yang mana menyebutkan bahwa kalau mau mendaftar PPS harus atas rekom kepala desa, kalau tidak mendapatkan rekom kepala desa maka tidak dapat mendaftar sebagai PPS. Aturan terbaru yakni PKPU nomor 12 tahun 2017 telah menghapus rekom kepala desa dan keterlibatan kepala desa dalam rekrutmen PPS hingga PTPS. Maka dari itu sesuai aturan baru sebenarnya kepala desa tidak memiliki ruang untuk menghemoni, akan tetapi berbeda ketika melihat data dilapangan. Sekalipun tidak atas rekom kepala desa namun hampir mayoritas penyelenggara dan pengawas pemilu adalah bagian dari kepala desa.

Sehingga kepala desa masih sangat berpotensi memainkan peran dalam pemilu serta terindikasi menjadi aktor utama dalam terjadinya kecurangan pemilu. Dalam hal ini pada akhirnya itegritas penyelenggara dan pengawas pemilu menjadi diragukan.

KOLABORASI PENYELENGGARA, PENGAWAS DAN PIHAK KEAMANAN MENCIPKATAN PEMILU BERINTEGRITAS DAN KECURANGAN OLEH PIHAK KEPALA DESA

Seandainya penyelenggara dan pengawas pemilu tingkatan desa mampu bekerja secara profesional, netral, berintegritas serta berani maka akan tercipta kondisi pemilu yang berintegritas. Akan tetapi karena kultur desa tidak bisa dipandang sebelah mata yang mana kepala desa yang cukup mengakar dan bahkan memiliki barisan blater menjadi faktor utama penyelenggara dan pengawas pemilu tidak bisa bekerja secara profesional. Dan sudah semestinya penyelenggara dan pengawasa berkolaborasi untuk menekan angka kecurangan pemilu yang terjadi di desa oleh kepala desa.
Melalui jaringan KPPS semestinya Penyelenggara pemilu bisa mendeteksi area rawan kecurangan di TPS pada desa terkait. Ketika peta area rawan telah diketahui menginfokan hal tersebut pada pihak Pengawas Desa dan ditindak lanjuti pada pengawas kecamatan untuk dicarikan langkah untuk mengatasi.

Tentunya, pengawas kecamatan akan berkordinasi dengan pihak keamanan untuk ikut mengamankan penyelenggaraan pemilu khususnya penyelenggara pemilu dan pengawas pemilu dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga pelaksanaan pemilu bisa dilaksanakan sesuai harapan dan pihak kepala desapun tidak akan berani melalukan tindakan yang terindikasi kecurangan.

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *